Senin, 18 Mei 2009

PARADIGMA PENDIDIKAN


Oleh : Toto Pardamean

Pendidikan sesungguhnya adalah bertujuan untuk merubah kehidupan manusia menjadi lebih baik. Lebih baik dalam berbagai dimensi termasuk dimensi kemanusiaannya. Karena kemanusiaannya juga harus lebih baik maka berbagai pendekatan yang dilakukan didalam pelaksanaan kegiatan pendidikan tentu harus berpijak pada azas-azas kemanusian juga.Berpijak pada azas-azas kemanusiaan artinya tidak boleh ada pendekatan yang bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan walau dalam bentuk yang sangat samar sekalipun.

Pendidikan dengan cara-cara manusiawi mencakup beberapa elemen yang terlibat secara langsung maupun tidak dalam kegiatan pendidikan dimanapun ia dilaksanakan, Pemerintah, DPR, Praktisi Pendidikan, peserta didik, dan seluruh lapisan masyarakat.Demikian juga soal konsepsi dan praktis yang berhubungan dengan pendidikan harus diikat oleh azas kemanusiaan itu.

Apa yang perlu diperhatikan dengan serius saat ini adalah persoalan pendidikan yang tidak bersungguh-sungguh lagi diperlakukan sebagai sebuah persoalan kemanusiaan. Terlalu banyak sikap dan perilaku yang terjadi didunia pendidikan kita justru mengabaikan persoalan kemanusiaan itu. Apakah sikap dan political will pemerintah yang sekedarnya saja memandang dunia pendidikan,ketidak seriusan DPR mengawal perjalanan pendidikan kita, sikap mendua dari sebagian besar masyarakat terhadap pendidikan kita, pradigma lama para guru yang belum berubah, sampai kepada soal karakteristik siswa sekarang ini. Berbagai komponen yang disebutkan itu masing-masing dengan cara dan versinya masing-masing dalam mengingkari azas kemanusiaan itu.

Pendidikan sebagai program kemanusiaan mengandung arti sebagai upaya untuk mengoptimalisasi potensi kemanusiaan manusia itu sendiri sehingga kedudukannya sebagai makhluk paling mulia itu terjaga dan terpelihara. Potensi yang hendak dioptimalisasi itu adalah potensi kecerdasan, potensi kearifan,potensi nurani, potensi kasih sayang, potensi akhlaq dan keimanan, potensi watak dan keperibadian. Dimulai dari pemahaman potensi yang salah inilah terjadi pengkroposan nilai-nilai kemanusiaan dari dunia pendidikan itu.Dunia pendidikan kita sekarang ini justru tidak menjadi solusi bahkan menjadi problema. Lembaga-lembaga pendidikan kita menjadi penyumbang terbesar gelombang pengangguran sebab dunia pendidikan kita mulai dari tingkat SMA/MA/sederajat hingga PT tidak mampu menghasilkan para kreator lapangan kerja justru para pencari kerja terutama sebagai pegawai/karyawan bahkan hingga bersedia mengumpan sejumlah uang demi status pekerjaan yang tak sebanding gajinya dengan biaya yang sudah dikeluarkan. Ini masalah serius yang hingga kini tak kunjung menjadi perhatian. Lembaga pendidikan kita tidak malah tidak berhasil menekan angka kebodohan karena biaya pendidikan yang sangat fantastis (biaya resmi dan berbagai keperluan dan kutipan). Masyarakat justru memilih lembaga pendidikan yang lebih banyak menjanjikan lowongan kerja dengan jalan pintas.


Tetapi bagaimanapun juga sebagai ujung tombak dunia pendidikan para Guru sebagai praktisi pendidikan memikul konsekuensi logis untuk digolongkan sebagai kelompok paling rentan terhadap kemerosotan nilai-nilai pendidikan kita. Jadi kalaupun disoroti terlebih dahulu jika dikaitkan dengan kemerosotan nilai-nilai pendidikan kita maka dapat dianggap wajar saja. Gurulah yang secara langsung berhadapan setiap harinya dengan peserta didik. Tetapi sayangnya masih banyak guru yang salah persepsi dalam menempatkan posisinya sebagai profesional. Guru lebih bangga dijadikan sebagai manusia super tanpa cela, sakral tak boleh dibantah,penguasa yang seluruh perkataan dan perbuatannya benar tak ada yang salah. Fokusnya terbatas hanya pada kegiatan transfer isi otaknya kepada siswanya. Dia tidak melakukan sharing nilai-nilai, tidak melakukan membangun kecerdasan berpikir. Kebanyakan guru lebih bergairah memenjarakan siswanya dalam dogma dan mengukuhkan cara berpikir pragmatis dan tidak memberi ruang berpikir yang merdeka. Hasilnya adalah anak-anak menjadi tidak cerdas,ketergantungannya sangat tinggi, dan sangat rentan terhadap berbagai problema.

Suasana tegang, cemas,tertekan merupakan keseharian yang dialami peserta didik disemua tingkatan sejak pagi sampai sore. Tugas-tugas yang menumpuk tanpa ada jaminan kelulusan, keseriusan yang juga tak menjamin kebenaran usaha yang mereka lakukan adalah seolah-olah syah-syah saja dilakukan oleh guru/dosen sampai kepada tidak ada jaminan dan keistimewaan apapun bagi mereka yang berprestasi. Banyak sekali kita melihat kejadian di lembaga-lembaga pendidikan yang memfungsikan dirinya sebagai wajah lain dari sebuah penjara. Inilah yang kita maksudkan hilangnya azas-azas kemanusiaan dari dunia pendidikan kita sekarang ini. Jadi wajar saja jika hasil pendidikan kita tidak menghasilkan manusia-manusia yang telah menjadi manusia sesungguhnya. Kita harus ingat sejak anak dilahirkan bagai kertas putih itu maka para gurulah yang lebih banyak berperan sebagai pengisi kertas putih itu. Sebuah keniscayaan yang sering dilupakan oleh para penanggungjawab pendidikan kita mulai dari strata yang tinggi sampai ke strata yang paling rendah.

Untuk memperbaiki semua itu maka seluruh kegiatannya harus serempak dilakukan pada semua lini dan komponen tidak terpotong-potong dan terkotak-kotak atau terpisah dengan jarak waktu yang sangat renggang. Apakah itu kebijakan pemerintah, UU, Anggaran, sistem, pelaksana dan sebagainya sehingga fungsi pendidikan dikembalikan sebagai kegiatan kemanusiaan yang utuh.

Tidak ada komentar: