Senin, 18 Mei 2009

MEMBANGUN POLITIK DINASTI

Oleh : Drs.Toto Pardamean

Kultur kekerabatan, koneksi, turunan, ataupun berdasarkan latar belakang bendera organisasi asal dalam perjalanan politik di Indonesia terus berlanjut. Fakta ini semakin terakomodasi dalam kondisi perpolitikan saat ini. Lihat saja bagaimana cara pandang dan pertimbangan partai-partai dalam menentukan arah kebijakan politiknya. Dalam partai secara sistematis dibangun sebuah tradisi kultus terhadap sosok atau sejarah masa lalu yang secara historis maupun emosional memiliki hubungan dengan partainya masing-masing. PDIP tetap tidak mampu dan tidak mau melepaskan diri dari nama besar seorang Soekarno walaupun signifikansi antara perjuangan Soekarno dengan alur perjuangan PDIP perlu dipertanyakan.Partai Golkar walaupun menurutnya sudah berobah paradigmanya namun tetap saja memiliki stigma politik yang sama tanpa perubahan besar, selalu saja merasa sebagai penguasa negeri ini. PPP tetap bertumpu pada sejarah masa lalu sebelum era penyatuan berbagai partai Islam. Ditambah lagi dengan betapa sangat terikatnya semua partai-partai terhadap mantan-mantan petinggi militer.

Dengan fenomena ini maka akan sukar berharap wajah politik negara kita ini akan berubah dalam waktu dekat. Slogan perubahan yang fenomenal pada pemilu 2009 ini dan kerap digunakan sebagai tema pilihan pada kampanye beberapa partai hanyalah sekedar bahasa lain dari ambisi pengambil alihan kekuasaan yang disana tidak terlihat rakyat berada diposisi mana.Presiden berubah, menteri berubah, anggota DPR berubah hanya itu, artinya tidak ada perubahan apa-apa sama sekali. Koalisi Partai-partai pun tidak akan menghasilkan perubahan nasib rakyat sebab semua orang tahu siapa saja yang akan berkoalisi itu dan kepentingannya sudah mudah untuk ditebak. Motivasi merekapun sudah jelas, ada yang takut kalah alias panik ada yang memanfaatkan moment (kesempatan). Mengapa panik dan mencari kesempatan karena didorong oleh ambisi kekuasaan. Politik cari muka dan angkat telor pun dipilih untuk memperoleh simpati dan rekomendasi demi kursi kekuasaan itu.

Pertengkaran atas asumsi kecurangan dan kelemahan UU pemilu menjadi konsumsi untuk saling menjegal sesamanya padahal mereka yang mempersoalkan itulah yang membuat UU dan sistem itu. Struktur organisasi kepartaianpun kacau balau, ada Ketua Umumnya tak tak punya arti apa-apa sebab berada dibawah kekuasaan Ketua Dewan Pembina dan Penasehat. Pengurus di level bawah yang punya konstituen hanya jadi sapi perahan dari Pengurus Pusatnya sebagai pemegang mutlak keputusan-keputusan startegis. Partai-partai politik bagaikan pemegang ootitas di negara ini. Yang namanya Rakernas sejenisnya hanya membicarakan peluang menduduki kursi jabatan tidak menghasilkan program kerja yang bermanfaat bagi rakyat. Hal ini sama artinya melenggang keistana negara dan Gedung DPR dengan tangan kosong tidak membawa konsepsi yang referesentatif tentang apa yang dikehendaki rakyat untuk ia kerjakan.

Bagaimana bisa bicara tentang rakyat jika dalam kasak-kusuk pemilu kali ini tak pernah dibicarakan soal rakyat kecuali soal hak pilih itupun karena ada hubungannya dengan kepentingan partai. Bagaimana bisa berharap banyak pada Dewan atau Partai jika ada partai yang mengusung calonnya sekeluarga menuju DPR. Yah begitulah kondisi negara kita ini yang tengah balik mundur beberapa abad kebelakang dengan munculnya indikasi membangun politik dinasti dalam bentuk baru dan secara samar. Disamarkan dengan maksud agar tak mudah terbaca dan mudah dipatahkan oleh rakyat. Terlepas dari motivasi apa yang menyebabkan menyebarnya suara rakyat sehingga tidak memungkinkan adanya partai yang singel mayoritas,paling tidak hal ini bisa dijadikan pembelajaran bagi para pemain politik itu menyadari bahwa yang memiliki kekuasaan sesungguhnya di negara ini adalah rakyat. Sikap rakyat yang independen dalam pemberian suara itu harus terus diperkuat bahkan lebih dipertegas, hanya dengan itu dinasti atau rezim dapat dilawan dan dipatahkan.

Tidak ada komentar: